
Ada berita datang dari Purbalingga... Tenun Khas Purbalingga....
Namanya Ni Katimah. Namun, warga di daerah tempat tinggalnya di Desa Onje, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, lebih mengenalnya dengan sebutan Ni Kartomi. Ni Katimah tidak tahu tahun, tanggal, dan bulan dia lahir. Dia hanya ingat, pada zaman pendudukan Jepang dia duduk di bangku kelas II sekolah rakyat dan mulai belajar menenun tenun purbalingga seperti halnya anak-anak perempuan lain di desanya kala itu.
Sementara rekan-rekan sebayanya sudah lama meninggalkan tenun purbalingga dari kehidupan mereka, Ni Katimah tetap setia. Sejatinya, kesetiaan itu tidak memberinya kesejahteraan yang melimpah. Hanya kecintaan pada tenun khas Purbalingga itu yang membuat dia bertahan hingga kini.
”Kula pancen remen kalih tenunan. Rumiyin ibu kula ngantos sepuh nggih nenun. Sakniki giliran kula (Saya memang suka menenun. Dulu ibu saya sampai tua juga menenun. Sekarang giliran saya),” ujar Katimah dalam bahasa Jawa.
Di usianya yang kian renta, Ni Katimah ”dipaksa” menjadi benteng terakhir tenun khas Purbalingga. Di desanya kini dia satu-satunya yang masih aktif menenun, bahkan di Kabupaten Purbalingga sekalipun.
Setiap kali pameran budaya Purbalingga, tenun hasil karyanya dipajang. Bukan oleh dirinya, melainkan oleh instansi atau organisasi tertentu yang masih peduli untuk memperkenalkan eksistensi tenun khas Purbalingga yang dulu termasyhur itu.
”Kalau ada pameran, tenun saya dipinjam. Kadang ada yang laku dijual, kadang tidak. Saya senang-senang saja, apalagi kalau ada yang laku,” ujarnya terkekeh menunjukkan barisan giginya yang telah tanggal.
Katimah bertutur, keterampilannya menenun didapat dari almarhumah ibunya, Ni Santamanggala, yang dahulu dikenal sebagai penenun andal dari Mrebet. Keterampilan itu diwariskan kepada lima anak perempuan Ni Santamanggala, termasuk Katimah.
Saat mulai belajar menenun, Katimah masih duduk di bangku sekolah rakyat. Dia lupa saat itu umurnya berapa. Yang pasti, saat Jepang menduduki Indonesia. Dia masih ingat karena tentara Jepang pernah merampas kain tenun buatan ibunya.
Bukan hanya keluarga Katimah yang belajar menenun, melainkan hampir semua anak perempuan di Desa Onje juga diharuskan belajar menenun oleh orangtuanya. ”Dulu anak perempuan malu kalau enggak bisa menenun,” katanya.
Orangtuanya meminta Katimah keluar dari sekolah saat dia duduk di bangku kelas III. Saat itu Indonesia baru meraih kemerdekaan. ”Kata ibu saya, buat apa anak perempuan sekolah tinggi-tinggi. Yang penting bisa menenun.”
Hingga akhir tahun 1970-an, tenunan khas Purbalingga buatan warga Desa Onje sangat termasyhur. Kain tenun kala itu digunakan baik untuk pakaian sehari-hari maupun pesta pernikahan. ”Dulu kalau upacara siraman pengantin, kalau tak memakai kain tenun, rasanya kurang,” ungkap Katimah.
Pada masa keemasan tenunan warga Onje, orang-orang antre membeli kain tenun. Konon, orang sudah memberikan uang muka meskipun kainnya masih ditenun. Selain untuk kegiatan siraman, kain tenun khas Purbalingga lazim digunakan sebagai bahan celana untuk pencari nira kelapa. Tenun dipilih karena kainnya tebal dan awet sehingga dapat melindungi gesekan antara kulit dan batang pohon kelapa.
Dulu hampir semua perempuan seusia Katimah di Desa Onje bisa menenun. Kegiatan menenun menjadi salah satu sumber penghasilan untuk membantu suami mereka yang rata-rata bekerja sebagai petani.
Sejak tahun 1980-an, kegiatan menenun mulai ditinggalkan warga Desa Onje, termasuk di seluruh wilayah Mrebet. Tenun menjadi barang asing untuk digunakan sebagai bahan pakaian sehari-hari. Ritual siraman dalam upacara pernikahan adat setempat pun semakin jarang memakai kain tenun ini.
Pada tahun 2000 tinggal dua penenun yang masih aktif di Onje. Belakangan hanya Ni Katimah yang tersisa. ”Sekarang memang susah menjual kain tenun. Kadang lakunya baru enam bulan kemudian,” ujarnya.
Harga kain tenun khas Purbalingga buatan Katimah relatif murah. Satu potong kain tenun hanya dijual Rp 70.000-Rp 85.000 dengan berbagai jenis ukuran. Padahal, pembuatan satu potong kain tenun membutuhkan waktu sampai 10 hari.
Kini, mendapatkan benang untuk bahan baku tenun tradisional bukan lagi perkara gampang. Katimah harus memesan dahulu ke pabrik di Purbalingga sebulan sebelumnya.
Katimah memperkirakan kini usianya lebih dari 75 tahun. Kini dia tinggal bersama suaminya, Ki Kartomi (80). Tujuh anaknya merantau. Tak seorang pun yang tinggal bersama mereka.
Suami-istri lanjut usia itu tinggal di sebuah rumah sederhana berukuran 6 x 12 meter dengan lantai tanah dan dinding yang belum disemen. Pada usia yang sudah lanjut, keduanya masih bekerja agar bertahan hidup. Kartomi menggarap sawah yang luasnya 3.500 meter persegi. Terkadang, bersama istrinya, Kartomi bekerja sebagai buruh tani.
”Kalau ada orang yang minta tolong untuk tanam, kami pun memburuh,” kata Katimah.
Di sela-sela kesibukannya bekerja di sawah itulah Katimah aktif menenun. Pekerjaan itu biasanya dilakukannya selepas shalat dzuhur.
Hasil menenun tak seberapa untuk menambah kebutuhan ekonomi keluarga Katimah. Tak setiap minggu, bahkan tak setiap bulan, kain tenunnya laku, tetapi tiap hari dia menenun. ”Saya itu sudah seperti santri di pondok pesantren kalau habis beduk. Duduk sambil mengulur benang tenun,” seloroh Katimah.
Dia menyadari, menenun tak dapat diandalkan untuk sandaran hidup lagi seperti saat dia masih muda. Kegiatan pameran yang memungkinkan hasil tenunannya dikenal banyak orang pun jarang sekali digelar, kadang 6 bulan atau bahkan setahun sekali.
Katimah pernah meminta anak-anaknya meneruskan keterampilan menenun. Namun, anak-anaknya tak mau karena mereka tahu menenun tak dapat dijadikan gantungan hidup. Selain itu, tenunan khas Purbalingga sudah dianggap ketinggalan zaman oleh generasi zaman sekarang.
Itu pula yang menyurutkan semangat Katimah untuk menularkan ilmunya kepada generasi muda. Dia pernah mengajak para remaja putri di desanya belajar menenun. Namun, para remaja itu juga tak tertarik.
”Mereka lebih memilih bekerja di pabrik daripada belajar menenun. Sekarang enggak ada yang bisa menenun seperti saya. Tidak tahu lagi kalau saya sudah enggak ada,” kata Katimah.
NI KATIMAH
Source Kompas
Nice post,
ReplyDeletevisit : http://www.purbalingga.co.cc [purbalingga blog]
Makasih ya mas. wah ana wonge dewek.. Link exchange ya mas..
ReplyDelete